Kamis, 18 Juni 2009

gema tulisku

ini agenda dan sajak-sajakku !

ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ

Di Masaku Nanti

Hai, sobat, rekan, kawan …

Coba dengar dan resapi petuahku

Seraya pandangi langit mlam jauh di sana

Di sana, aku ... ada

Si komat Halley yang masih tersimpan

Tunggu menceruatnya setelah 70th menjelang

Saat itu tiba, semua alam akan kenalinya ... kenaliku

Sekalipun dengan mata telanjang

Bukankah komet tak jauh beda sepertiku ?

Sama-sama terasingkan bersama seribu cahya kita

Namun akan ada saatnya kita tampil perkenalkan diri

Dan sejak itulah kejayaan kita diakui

Waw ! betapa besar cahyaku ... ! sudikah kiranya kalian tunggu ?

Datangku selalu tinggalkan pesona di angkasa

Meskipun begitu aku tak mampu lupakan kulitku

Karena itu carakau tepis keangkuhanku ...

Shiella and the Diary

Dear diary, hanya padamulah setelah padaNya

Aku berbagi, mengadu, dan segan bertanya ...

Ingin tahukah engkau mengapa ?

Jawabnya mudah ! yang lain tak tau mauku

Apa alasanku berucap semudah itu ?

Cuma inginka semua terimaku !

Eksis kisahku hanya untukNya

Bila itu salah, hmm ... tinggal ralat ! selesai !

Sayang itu tak semudah membalik telapak tangn

Cetak senyuman orang lain, namun tak korbankan jiwa kita

Selalu ada yang dikorbankan, that passion ...

Sebenarnya aku selalu ingin berubah

Yang kutahu, hidup, sejatinya manusia hidup !

Hidup adalah permainan peruntungan !

Tergantung pada kita ingin jadi apa

Karena waktu kan terus berputar

Kau yang tahu segala

Teruslah di sampingku

Kelak kau yang kan jadi saksi

Selaraskah rag adan batinku ini !

Perbaikan vs Lebih Baik

Aku ... aku ... aku ...

Lakuku sombong merasa tahu segala

Itulah aku ...

Si sok tahu segala tentang mereka

Bahkan aku. Namun ku keliru

Parahnya sama sekali ku tak kenali diriku

Saiapa diriku ... dan, dimana aku berada

Hingga hari pertama ku jatuh datang

Sungguh, sakit ku rasa ! tiada daya

Saat itulah aku merasa jadi mereka

Bertukar tempat dari kuat menuju lemah

Tak bisa ku tutupi aku tak mampu lagi berdiri

Dalam hati kecil ku rasa

Malu, marah, terbebani, sesal ! namun pada siapa !

Tak pernah ku rasa begini

Hingga ku menemukan Mu !

Lewat Kau sebagai cerminku, ku mulai belajar mengerti

Meski tak kan mungkin kudapati detil

Tiada yang bisa bercermin muka sendiri

Sadar bukan perbaikan namun berubah lebih baik

Menghadapimu

Pagi buta ku datang

Senyuman mentari iringi langkahku

Batinku terusik cmas namun angkahku tak ragu

Jantungku berdetang tak tentu dan inilah waktunya

Awan putih, jangan kau menaruh cemburu

Sebaliknya, kau harus dukung aku !

Sebab ini bukan main-main

Antara hidup dan matiku

Kertas, pensil, ingatan yang tajam

Ku rasa ini tak cukup tanpa restuNya

Meski ku telah berupaya

Namun tetap saja nasibku ada di tanganNya

Ku mulai dengan goreskan tinta, hitamkan bulatan

Ini jurnal akhir belajarku

Keyakinanku semoga selama ini tak kan sia-sia

Kelak ku bisa lanjutkan masa depan

Ku sebut namaMu di tiap ingatan

Ku ajukan doa-doa harapanku

Ku pejamkan mata sambil hela nafasku

Barulah kini ku tahu menghadapimu

Biar sang Waktu yang Menjawabnya

Belum pernah ku rasa cemas begini

Derita batin bercampur suka

Datang pergi silih berganti

Semaknin hari semakin menjadi-jadi

Sengaja ku tak manja rasa ini

Aku takut anggapan orang lain itu benar

Berbagai usaha aku coba tuk menjauh

Ku pikir bila tlah lama rasa ini akan sirna

Kasmaran, satu katta yang mewakili hatiku

Padahal bukan yang pertama kalinya

Namun pikirku terdorong tuk menguburnya

Menguburnya rapat-rapat hingga meluap dan meledak

Siapa peduli hatiku !

Mereka hanya butuh bantuanku

Aku rasa begitu ... dan lebih baik terus begitu

Tapi entah mengapa rasa ini membuatku jemu

Aku selalu gagal untuk membuka hatiku

Tak pernah bisa ...

Aku takut merasakan pahitnya sebagai wanita

Maka itu ku serahkan segala pada sang waktu

Tunjukkan Jalan Terbaik

Allah, ku tahu dimana ku berada

Dalam lingkar kuasaMu

Belum ku tahu jalan man ynag akan kutempuh

Asal padaMu, itu setahuku ...

Tolong aku, hambaMu ini !

Sebab hatiku dirundung bimbang, galau bagi mati rasa

Aku sangat butuh bantuanMu saat ini

Ini menentukan nyawaKu besok

Kuakui tak sekedar hari ini, berulang kali

Sombong benar bila ku berkata demikian

Detik-detik begitu singkat melumatkan energiku

Hingga harapanku tak semapt terangkai

Naluriku berharap aku lolos

Namun tak hanya itu, aku inginkan lebih ...

Di sisi lain bagaiman nasib mereka, sahabatku

Allah, tunjukkan jalan terbaik ...

Sejenak Terpikir Olehku

Hatiku dan aku

Senantiasa berjalan selaras dan senada

Kita mencoba peduli sesama

Mengertikan segalanya

Segalanya, segala hal

Tentang segala yang kami impikan

Tentang segala yang kami kenali

Dan mencoba mewujudkannya

Perihnya, pedih dan luka yang diam-diam ku bawa lari

Adakah yang peduli ? menurutku mereka tak sanggup

Tak sanggup kan memberi solusi

Mereka hanya bisa terdiam seribu bahasa

Mugkin benar yang kuat hanya kan terus melindungi

Tak adakah kesempatan bagi kita dilindungi !

Itu semua hanya khayalan belaka

Tak akan ada realita

Sejenak ku terpikir

Bukan untuk memberi kali ini

Lebih-lebih mengharap kejelasan dari mereka

Haruskan ku terjeruji dalam ruang kosongku ini ?

Haruskah Ada yang Mengalah

Angin malam menusuk jantungku

Dingin yang begitu dingin

Hingga tak terasa

Telak membekukan tubuhku

Bekunya badanku

Nyaris bekukan otakku

Linunya tulangku

Nyaris sekaratkan lidahu kelu

Pikiranku, syarafku, berjalan berlawanan

Tak sedikitpun beriringan

Aku pun tak pernah mengerti

Ada apa ini ?

Tiada alat kendali

Namun ku tak bisa berhenti

Ini bukan tanda kemenangan

Melainkan kekalahan

Karena ini menggoyahkan tekadku

Ada apa denganku !

Ini hanya akan buatku tak tahan

Mungkin kalia ini hati harus mengalah untuk logika

Semburat Nada-Nada Lirih

Ku berjalan ikuti hasratku kemana pergi

Ku langkahkan kaki ikuti bisik hatiku

Ku lanttunkan lagu sesuai ramai buih pesisir pantai

Ku bentangkan sayap menghadap sang fajar

Sayub-sayub mataku terbuka

Begitu banyak bintang meriuh

Tak hanya itu,

Berjuta keajaiban laksana mengepungku

Irama dan melodi tercipta

Orkes yang tak pernah kujumpai sebelumnya

Namun aku senang-senang saja

Bahkan sepertinya ku tak ingin berkedip mata

Terus pasang telinga sehari semalam pun tak apa

Makin lama makin indah di telinga

Kapan lagi akan ada nada seperti ini

Sungguh sempurna pasti pemiliknya

Seperti gesekan sendu dawai Biola,

Dan liukan petikan Selo

Buatku terhanyut dalam keharmonisan dunia

Tak ingin ku lewatkan sekalipun dalam seumur hidupku

Mati Suri

Ketika kabut tebal menyelimuti bumi

Gelap gulita satu hal yang membayang

Dingin dan sunyi bersama kehampaan dan sesak nafas

Namun nurani tak kan perah menyerah

Hari ini satu hari yang datangkan dua

Ini sedikit tak wajar namun dapat kurasa

Semalam di dalam lelapku

Dan itu berkali-kali berlanjut meski ku telah terbangun

Ku jelajahi makin dalam

Dunia fantasi yang teramat luas namun menawan

Bahkan lebih hebat dari dunia maya

Sungguh ! andai kau tahu ku pastikan kau juga ingin merasaknnya

Memang kuakui telah lama ku terobsesi pada alam ini

Tak habis-habisnya impi yang membuncah dalam benakku

Layaknya fantasi pada umumnya

Seakan ku bisa genggam dan masuk ke dalam

Ini benar-benar surga dunia

Teman-teman tak terduga ku temui di sini

Aku sempat menggandengnya namun tak berlama-lama

Aku takut bilamana ikut dibawanya dan tak kembali

Kabut putih itu datang lagi

Namun bukan menyesakkanku ia membawaku

Aku berusaha melawan tapi tak mampu

Rupanya ini pertanda, aku masih diberi kesempatan

Hanya Fiksi

Di tempat yang tak bertepi

Terbentang luas indahnya padang hawa

Dimana tempat itu ditunggui peri

Mengibaratkan bahasa hati yang berseri

Bahas hatiku yang sunyi kini terbakar hari

Kini muliai terisi benih bahagia

Pastilah kau dapat melihatnya

Aku tak semurung dulu, kan ?

Di seberang danau kulihat sebuah gubuk

Gubuk kecil yang berkilau

Entah apa itu, tapi aku penasaran

Dan ketika itu aku berusaha mendekat

Oh, rupanya peri itu yang tinggal

Dalam selipan bunga di telinganya

Aku lihat berlian merah semerah kalung yang dikenakannya

Tak sia kalau yang memakai secantik ia !

Meski aku wanita aku dapat meliha betapa keanggunannya

Aku sama sekali tak iri dan ku sapa ia

Entah bersama siapa ia tinggal di gubuk itu

Yang jelas ada pria tampan yang menuju tempat itu

Hah, mendadak disulapnya gubuk itu

Bak istana kastil yang dibangun para raja bestari

Sungguh indah dan aku masih di sana

Mereka mempersilahkanku masuk dan dijamu

Aku kira itu hanya mimpiku atau bayangan hitam di benakku

Namun bukan, kembali ku keliru !

Karena mereka berkata

Inilah pertanda baik dalam hidupku !

Kemana Pergimu !

Si Agam , sobat karibku ...

Kemana kau hendak pergi ?

Tak biasa kau sediam dan sehening ini !

Aku dapat merasa

Si Agam, apa yang tengah terlintas di kepalamu

Mengapa tak bisa kutebak

Itu juga tak biasa

Karena kau orang yang dekat denganku

Lantas, mengapa kau berkemas

Dengan busana serapi itu,

Apa kau hendak ke kota ?

Namun untuk apa?

Kau sudah punya sanak di sini

Mereka masih genap

Mengapa kau ingin meninggalkan mereka

Jawab tanyaku ini

Aku masih bingung dengan lakumu

Hei, ada apa ?

Kau belum menjawabnya

Asal kau tahu betapa cemasnya hatiku !

Entah Berapa Lama

Tiap kali tiap terjadi

Kesekia kali yang tetap sama saja

Meski dalam selang waktu yang beda

Namun tak ada niat bagi ku merubahnya

Hatiku masih juga sekaku dulu

Belum mau untuk membuka bahkan terisi

Aku khawatir pada jantungku

Bilamana iacembruru! Kasihan ia!

Hatiku telah sekin lama bersamaku

Kiranya aku tak kan rela melepasnya

Termiliki sesuatu ataupun seseorang

Itu buatku hampa

Tak sebatas itu ...

Tak sebebas hari ini dan sebelumnya

Ak tak kan siap

Maaf, mianhamnida ...

Seperti apa rasa asmara

Aku belum berminat

Seperti apa rasa patah hati

Lebih-lebih hal ini ...

Lembut dan Melo di Hatiku

Hari ini ku bagai terbang melintasi awan

Terdorong deru hembusan udara malam

Malam yang makin kelamdan mencekam

Hatiku yang sedang bimbang dan terpanah amoura

Yang kosong kelak juga kan terisi

Namun aku agak bodoh akhir-akhir ini

Aku sadar akan hal itu

Itu terasa janggal sekali

Aku seperti diterpa badai

Badai yang tak jemu-jemunya mendera

Berjuta rasa yang kutaut

Tak sanggup terhitung dan terus bertebar

Iayang mampu tasi

Karena iayang mulai maka iayang akhiri

Mengapa ada lembut dan melo

Padahal aku punya kekakuan yang kukuh

Wahai engkau yang ku sayang terusalah bersenandung

Agar burung dan lautan tahu

Akan jeritan hati dan takjub akan itu

Sepeti halnya salju yang berjatuhan di daratan hati

Step by Step

Betapa jauh puncak yang ku hadng

Betapa lama waktu yang habis bagi ku mencapainya

Apa yang dapat membantuku untuk mengejarnya

Semua itu tanya berkecamuk dalam relung otak dan syarafku

Sekarang sudah bukan itu

Bilamana ku ada di atas apa yang musti ku perbuat

Diam sajakah ? atu terbuai ? mana bagi yang lain ?

Karena inilah aku timbul goyah

Sekilas kupandang ke depan saja

Ku rasa tak da dua puluh kaki lebihnya

Hanyaa lima jengkal saja

Terimakasih oh, Allah, kau telah angkat aku

Sekarang sempatku daki puncak tertinggi

Namun aku takut terjatuh

Tetaplah Kau awasi aku

Janga sampai ku tergelincir ke dalam jurangMu

Percaya dan yakinlah yang kupunya saat ini

Tinggal kita yang memutuskan

Akan terus atau mundur

Tapi percayalah aku, akan terus melaju !!!

Osmosis vs Overseas

Lautan tak mampu patahkan semangatku

Absurd sang saka tak kan padamkan nyala apiku

Army tak juga cukup doreng dibanding hijauku

Resonansi yang terus dentumkan bunyiku

Kromoson pada jaringan yang terus hidupkanku

Nestapa dan luka berosmosis mengalirkan sebuah cerita

Sorotan tabir yang sembunyikan makna

Bukan menhir namun tentu barsejarah yang menjarah

Kegagahan Obelixs tantang gugusan bintang tekadku

Tamak Fir’aun lapukkan batuan mungkin namun bukan aku

Mega mendung yang julurkan lidah pelangi

Mejikuhibiniu yang satu tujuan

Sangk sipu yang lebih hebat dibandingkan rusa

Sekilas itu seperti tahayul

Namun mungkin saja nyata

Tapi itu tak berlaku buatku

Polimer dan nuklir tak mampu mampatkan ledakanku

Aroma melati tak kan sanggup kalahkan harum namaku

Kerah putih tak kan jadi biru

Karena itu berarti turun derajat

Philosopi klise mengarak tanda setuju

Selama serigala masih melolong dan tidak mengeong

Persembunyianku tak akan terbongkar dan tetap aman

Asalkan darahku juga tak meluntur jadi kelabu

Kata Utara

Memeluk waktu satu dekade

Memeluk harian semu dan sembunyi dalam endapan tanah yang tinggi

Menggigil jemari karean ketegangan memuncak

Aku takut bertemu ayahku

Iajahat dan suka memaksakn kehendak

Kau tahu aku selalu menangis di belakangnya

Karena ayahku itu sungguh liar

Ia tak kan tahu apa inginku

Cerobong asap masih berkemelut

Gemuruh tawanya masih meradar di udara

Mengerahkan tenaga, tapi hujan malan menangis

Merapat kapal siang itu ke dermaga

Kemarau panjang melanda desa nelayan

Namun aku tak ambil pusing

Aku justru senang

Karen itu tanda bahwa ayah tak kan pulang

Jangan beranjak kabur rona sore

Tetaplah sayu dalam memandangku

Karen kau yakin kau akan selalu dukung aku

Akhirya ku dapat utara kata untuknya

Korosif Sahara

Biri-biri selalu kedua, Domba yang pertama

Tak pernah beruba meski Biri-biri meminta

Kasihan ia ! betapa malang nasibnya !

Namun suma satu kawan setianya ! si awan Cirrus

Domba pun punya awan sobatnya, Cumulus

Namun Domba pandai berkhianat

Di aseringkali mengadu biri dengan Cirrus

Apalagi kalau tidak lewat Cumulus

Berualng kali ini terjadi

Namun berulang kali jug ia tetap berkuasa

Tapi saat itu mungkin tidak Cirrus telah tahu kalau ia yang penjebak

Akhirnya bertindaklah Cirrus yang memihak kawannya

Cirrus hanyaa dapat menepuk bahu Cumulus

Meletakkan risau di timbunan awan lain siang-siang begini

Awan hitam pun menghampiri

Dan hujan pun kembali menangis

Tak tahan keinginan Domba berlari ke ladang

Ke tundra dan stepa

Menanti kehangatan mentari karena tubuhnya yang menggigil

Ia merebah menacari panas yang tak kunjung datang

Esoknya Domba lesu bersua Biri-biri segar

Terperanjat sang Domba menengok Biri-biri yang mencakar langit

Lants berktalah ia,” Let’s play game on of luck !”

Terang saja Korosif Sahara telah membantunya !

Senyuman di Balik Tabir

Pagi siang sore mencari makan

Petang pun tak kalah ia hiraukan

Pergi entah ke timur atau selatan

Yang ia tahu hanya mencari ikan

Sepi daratan tak buat ia jemu

Panas terik pesisir pun tak dirasanya

Hujan badai telah disapanya

Hilir mudik ombak diterjang pula

Pabila hari bermentari kembalilah ia pulang

Pabila hari bergulir hendak gulita berangkatlah ia

Pucat pasi, enath kesal, laelah, tak diperlihatkan

Ayah, pipi lesung selalu terlintas di wajahmu nan sayu

Ayah, doa yang kupanjat selalu

Ia sosok kedua yang ku idola

Kerja keras tlah mampu hadirkan senyumku

Senyum kita sekeluarga, ayah ...

Mauku kau bahagia selalu

Semoga lekas kau jelang bahagia

Jangan sekali peluh dan keluh kau luapkan

Karena di setiap tabir yang awasimu kan jaga senyuman

Bukan Diriku

Sudah ku kata

Berulang kali hingga tiba ku kelu

Aku ke sini

Namun bukan untuk itu

Kau pun pasti tahu

Maaf, ku tak pedulikanmu ...

Mengapa baru kini

Kau pertanyakan sikapku ?

“adakah tak biasa ?”

Meski hanya ku dan Dia yang tahu mengapa

Alasanku, janganlah kau galau dan gelisah

Ingat ! camkan !

Kau kenapa ?

Itu sudah basi jikalau nasi

Tapi hanya oleh-olehnya

Bukan dari yang kupinta

Kenapa ! mengapa bukan bagaimana ?

Cari saja sendiri jawabnya !

Yang jelas, aku tengah tidak bungkam

Namun aku tak tahu kenapa tak dapat angkat bicara

Aku tak dapat bersilat lidah

Karena aku bukan kau

Itu hanya habiskan liurku

Itu sungguh bukan aku !

Dulu ... Sekarang ...

Hidup serasa milikku saja dulu

Milikku seorang yang lain taida

Hanya menumpang ...

Dulu aku serasa bak puteri raja

Yang selalu disanjung dan dimanja

Mungkin lekas ku terbuai

Dan entah apa jadinya !

Dulu rasaku hidup sendiri, hanya ada aku

Dan di lain tak berpenghuni

Sekarang ku Cuma terdiam dan didiamkan

Melihat dengan kecewa mengintip dari jauh

Merana bagai pahlawan yang kalah perang

Sekarang aku bagai pohon yang tumbang

Hanya badanku terbujur kaku

Dan tunggui siapa yang bisa tegakkanku

Seperti pecahan kaca di jalanan

Semua serasa ingin singkirkanku

Berburu pergi dan ingin menjauh

Sekarang ... sekarang ku hanya dapat tinggal

Meratap masa kini yang pucat pasi

Yang hitam putih tiada warna serta pesona

Dulu sekarang, sekarang namun dulu ...

“aku belum sanggup relakan semua pergi !”

Bagaimana ini, adakah yang sanggup bangnkanku

Ini yang kuharap Cuma mimpi buruk

Dan hanya neraka hayalku

Dan semoga masih ada malaikat yang terlewat

Yang dititipkan untuk kembali menolongku

Sungguh. Tapi ini bukan bualan ...

Kemana

Hatiku beku, mati rasaku

Lidahku kaku, mulutku bisu

Pikirku buntu, jalnku putus

Mataku buram buta

Nafasku sengak habis

Nadiku tersendat-sendat hendak tak bergerak

Semoga ini tak simbol ku mulai mati

Telingaku juga tuli dan menuli

Semoga bukan pertanda ku barang rongsok

Apa ... apa kalian !

Kalian tak mengerti apa !

Kalian tak perlu tanya apa dan bagaimana

Toh, ku tak tahu juga akan jawab apa

Jangankan insprirasi darimana atau siapa

Jangan buatku bangak berpikir dan menduga

Menerka-nerka dan bicara “Kemana”

Yach, kemana ... mengapa ?

Rupanya aku sudah ingin berubah menjadi baru !

Kendati Jiwaku Rapuh

Kudaki menjulang gunung tertinggi

Kuselami dalam dan gelap lautan menyepi

Kulintasi putih warna kabut awan menebal

Ku kepakkan sayapku menuju sang pelangi

Indah ... berseri di remang sinar pagi

Dan tetap suci di petang kelam malam

Aku bagaikan seekor burung dara putih tanpa dosa

Mengharap datang secercah cahya putih dari nirwana

Nirwana yang seakan membentang di kedua bola mata

Yang seolah-olah tiada batas diitari si semampai ini

Mampukah ku gapai secercah cahya itu ?

Semoga tak kunjung padam sinarnya selimuti hatiku

Hatiku yang kian rapuh tak tentu arah ...

Kemana ku bisa lari sekencang kakiku bisa !

Mencurahkan seluruh isi jiwa yang kendati rapuh

Selain itu Engkau !

Jiwaku kadang terhanyut dalam gelimang dosa dan prasangka

Serta pahitsetir dendam kesumat dan bencinya rasa

Ku takut bilamana semakin jauh terperosok ke dalamnya

Namun benar kata mereka ! hidupku lebih berharga !!

Dambaan Ironis

Dambaanku yang ironi

Dambaanku yang tak wajar dan lazim dirasa

Kita tak pernah berpadu

Jangankan satu !

Bukan dan tidak bercerita

Bicara atau keluar kata itu sudah baik

Hanya saja ku yang mengenal

Dan daging ini tumbuh untuknya

Aku baru mengeruk luarnya

Dia ... dia berbeda tak serupa denganku

Damba ini pantaskah ?

Si Junior menengok Senior ?

Ini agak gila

Tak bisa dipercaya

Tapi mengapa harus dia ?

Bukan yang lain yang lebih setimbang

Benarkah rasa ini damba

Atau sekedar kagum yang berlebih keluarnya

Benarkah damba seperti ini ?

Ya Allah, sungguh tak mampu ku percaya !

Apa Baikmu ?

Apa baikmu ?

Sering kupertanyakan dalam benakku

Apa baikmu ?

Berulang kali berdentum keras dalam jam ku

Lama-lama lambat-lambat ku gila di sampingku

Mendadak tertawa ! tersipu malu !

Mendadak pula merenung ! dan otot meregang !

Dan satu lagi keluh kesal karena ulahmu itu !

Apa-apaan ini ?

Engkau memang dia namun tak kurasa

Kenapa baru sekarang langit membiru

Kau yang tengah bersamaku berhambur bisu

Bandit langitku ... itukah kau ?

Berbagai caraku untuk dapat selalu melihatmu

Itu sudah membuatku senang

Tapi tahukah kau apa yang berkecamuk di kepalaku

Kau bandit langit dan alamku

Apa baikmu !

Penguasa, penjajah, atau sang lintah

Sampai sekarang tak ku temui juga balasnya !

1 komentar: